Berjalan menelusuri lorong pesawat, dengan agak membungkuk supaya
kepala saya tidak membentur langit-langitnya, saya menemuka sebaris
tempat duduk yang kosong dekat pembatas, itu berarti saya punya ruang
ekstra bagi kaki saya dan suatu penerbangan yang tenang. Saya
tersenyum sendiri ketika saya membalikkan tubuh untuk duduk di kursi
pinggir dekat lorong, dan berpikir alangkah baiknya Tuhan, menjawab
permintaan saya untuk memperoleh sedikit ketenangan dan istirahat.
"Tuhan mengerti betapa lelahnya saya," pikir saya.
Ketika saya meletakkan tas saya di bawah kursi di depan, seorang pria
yang berpakaian sedikit kumal mendekat sambil tersenyum dan menyapa
saya dengan suara keras: "Hei! Orang Amerika ya?"
"Ya...ya benar," jawab saya dengan enggan.Saya mengambil tempat duduk
di dekat lorong karena berpikir bahwa orang yang ingin duduk di
sebelah saya tentu mengalami sedikit kesulitan sebab harus melewati
kaki saya yang panjangnya! Orang itu duduk di barisan belakang saya,
tetapi saya tidak menaruh perhatian kepadanya dan mulai membaca.
Beberapa menit kemudian, kepala laki-laki itu muncul dari samping.
"Baca apa?" tanyanya sambil mengintip dibalik pundak saya.
"Alkitab," jawab saya agak tidak sabar. Apakah ia tidak melihat bahwa
saya tidak ingin diganggu? Saya kembali bersandar ke belakang, tetapi
beberapa menit kemudian mata yang sama kembali muncul dari balik kursi
saya. "Apa pekerjaan Anda? katanya.
Karena tidak mau terlibat dalam percakapan panjang, saya menjawab
dengan singkat, "Sejenis pekerjaan sosial," kata saya dengan harapan
ia tidak tertarik.
Saya merasa sedikit terganggu karena sudah tidak menceritakan yang
sebenarnya, tetapi saya tidak berani mengatakan bahwa saya terlibat
dalam membantu orang yang sengsara di jantung kota Amsterdam. Hal itu
pasti akan memancing pertanyaan-pertanyaan lain.
"Boleh saya duduk di sebelah Anda?" ia bertanya sambil melangkahi
kaki-kaki saya.Tampaknya ia mengabaikan usaha saya untuk tidak
mengobrol dengannya. Mulutnya bau alkohol dan ludahnya memercik ketika
ia berbicara, membasahi muka saya seperti hujan gerimis.
Sikapnya yang menjengkelkan itu membuat saya amat
kesal.Ketidakpekaannya telah menggagalkan semua rencana saya untuk
menikmati pagi yang tenang ini. "Oh Tuhan," saya mengeluh dalam hati,
"Tolonglah saya"
Percakapan kami mulanya berjalan dengan lamban. Saya menjawab beberapa
pertanyaan tentang pekerjaan kami di Amsterdam dan saya mulai
bertanya-tanya mengapa laki-laki ini sangat ingin berbicara dengan
saya. Ketika percakapan semakin berlanjut, saya mulai sadar bahwa
sayalah yang kurang peka.
"Isteri saya seperti Anda," katanya kemudian. "Ia berdoa bersama
anak-anak, menyanyikan lagu untuk mereka dan mengajak mereka ke
gereja. "Sesungguhnya", katanya perlahan dengan mata yang mulai basah,
"Dialah satu-satunya kawan sejati yang pernah saya punyai"
"Pernah?" tanya saya. "Mengapa Anda berkata tentangnya seperti itu?"
"Dia telah pergi." Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Ia
meninggal tiga bulan yang lalu ketika melahirkan anak kami yang kel
lima."Mengapa?", tanyanya dengan terisak, "mengapa Allahmu
mengambilnya pergi?Isteri saya begitu baik.Mengapa bukan saya?Mengapa
justru dia?Sekarang pemerintah mengatakan saya tidak cocok untuk
mengurus anak-anak saya sendiri, dan mereka juga pergi."
Saya memegangi tangannya dan kami menangis bersama. Betapa egoisnya
saya! Saya hanya memikirkan kebutuhan saya untuk beristirahat padahal
laki-laki ini sangat membutuhkan pertolongan.
Ia melanjutkan kisahnya pada saya. Setelah isterinya meninggal,
seorang pekerja sosial menganjurkan agar anak-anaknya di urus oleh
negara. Ia begitu sedih sehingga tidak dapat bekerja, dan iapun
kehilangan pekerjaannya. Hanya dalam beberapa minggu ia kehilangan
isterinya, anak-anaknya dan pekerjaannya. Karena liburan tinggal
beberapa minggu lagi, ia tidak tahan untuk merayakan natal seorang
diri. Sekarang ia sedang berusaha menghilangkan kesedihannya.
Ia terlalu pahit untuk dihibur. Ia telah dibesarkan oleh empat ayah
tiri yang berbeda dan ia tidak pernah mengenal ayahnya yang
sebenarnya. Mereka semua adalah laki-laki yang keras. Ketika saya
menyinggung Allah, ia bereaksi dengan pahit, "Allah?" katanya, "Saya
pikir kalau memang ada Allah, Dia pasti monster yang kejam! Bagaimana
mungkin Allah yang penuh kasih melakukan ini terhadapku?"
Ketika saya meneruskan pembicaran dengan orang yang terluka itu, Saya
diingatkan kembali bahwa banyak orang di dunia ini yang tidak mengerti
akan Allah yang merupakan seorang bapa yang penuh kasih. Berbicara
tentang allah Bapa yang penuh kasih hanya akan menimbulkan kepedihan
dan kemarahan dalam hati mereka. Berbicara mengenai hati Allah sebagai
bapa kepada mereka, tanpa merasakan kepedihan mereka, hampir sama
dengan suatu tindakan kejam.
Satu-satunya cara saya dapat menjadi kawan laki-laki itu dalam
perjalanan dari Oslo ke Amsterdam ialah dengan menjadi kasih Allah
baginya. Saya tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sempurna. Saya
hanya membiarkannya marah lalu menawarkan minyak belas kasihan bagi
luka-lukanya. Ia ingin percaya kepada Allah, tetapi jauh d idalam
hatinya, rasa keadilannya telah diperkosa.
Ia membutuhkan seseorang yang dapat mengatakan bahwa tidak apa ia
marah dan mengatakan kepadanya bahwa Allah juga marah terhadap
ketidakadilan. Setelah Saya mendengarkannya dan mempedulikannya serta
menangis bersamanya, ia siap mendengarkan kata-kata saya bahwa Allah
lebih sedih daripada dirinya atas apa yang telah terjadi dengan isteri
dan keluarganya.
Tak ada seorangpun yang pernah mengatakan kepadanya bahwa Allah juga
mengenal; kepedihan hati yang hancur.
Ia mendengarkan dengan diam sementara saya jelaskan bagaimana ciptaan
Allah begitu rusak karena dosa dan sikap egois, sehingga kini menjadi
berbeda seluruhnya dari apa yang ia ciptakan semula.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang kita semua pernah
menanyakannya: Mengapa? Mengapa Dia menciptakan sesuatu yang dapat
jatuh dan menjadi rusak? Jika ia adalah Bapa yang penuh kasih, mengapa
ia ijinkan segala penderitaan itu?
Kemudian saya membagikan beberapa jawaban yang telah menolong saya.
Banyak orang tidak dapat memahami bahwa ada Allah yang baik tetapi
mengijinkan penderitaan. Namun jika tidak ada Allah yang
berkepribadian kekal, penderitaan manusia kehilangan arti sama sekali.
Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah suatu produk yang kompleks
dari suatu waktu dan kebetulan. Hanya merupakan suatu akibat dari
proses evolusi. Jika itu benar, maka penderitaan hanyalah suatu
masalah yang bersifat fisik dan kimiwai.
Jika tidak ada Allah, tidak akan ada kemurnian moral, dan tidak ada
dasar untuk mengatakan bahwa setiap bentuk penderitaan adalah salah
secara moral.
Dengan menyangkal eksistensinya, manusia menyangkal arti kehidupan itu
sendiri dan karenanya juga menyangkal dasar dari perkataan bahwa
tidaklah benar bagi manusia untuk menderita.
Tanpa Allah kita bahkan tidak dapat mengajukan pertanyaan, "Mengapa
orang yang tidak bersalah menderita?" karena tidak ada yang disebut
tidak bersalah.
Tidak bersalah mengandung arti salah, dan salah menyatakan secara
tidak langsung bahwa ada hal-hal yang mutlak tidak benar secara moral.
Saya percaya menderita itu salah, dan fakta bahwa Allah itu ada
mengijinkan saya untuk mengatakannya dengan tegas. Namun penegasan itu
membawa kita kepada pertimbangan lain yang penting. Bagaimana perasaan
Allah terhadap penderitaan dan kejahatan di dalam ciptaanNya. Alkitab
berkata bahwa Dia sangat berduka di dalam hatinya. (Kejadian 6:5-6)
With GOD's Love
0 comments:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Post a Comment